Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9
juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan
95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberculosis sebagai « Global Emergency ». Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis
di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.
Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus
TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 pendduduk Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberculosis pada
tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka
mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana
prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang
muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada system pernapasan merupakan penyebab
kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis
adalah penyebab kematian
pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu
dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun, 2001
terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan
penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun.
Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang
penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di
dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
1.
DEFINISI
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius,
yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari
tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem
kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb
paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb
aktif pada paru batuk, bersin atau bicara.
Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru
(Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksius
yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma
dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat menahun dan dapat
menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009).
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
2.
ETIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB
paru. kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan
yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena
itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur
lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk
batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.Setelah
kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh
lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif
(tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
3.
KLASIFIKASI
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes
(2007) yaitu :
a.
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang
terkena :
1)
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2)
Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak mikroskopis, yaitu pada Tb Paru :
1)
Tuberkulosis paru BTA positif
·
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tb positif.
- 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2)
Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostik Tb paru BTA negatif harus meliputi :
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien
ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien
yaitu:
1)
Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2)
Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh
lagi.
3)
Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
4)
Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5)
Kasus
lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes RI, 2006).
4.
EPIDERMIOLOGI
A. Personal
1)
Umur
Tb Paru Menyerang siapa saja tua, muda bahkan anak-anak. Sebagian
besar penderita Tb Paru di Negara berkembang berumur dibawah 50 tahun. Data WHO
menunjukkan bahwa kasus Tb paru di negara berkembang banyak terdapat pada umur produktif
15-29 tahun. Penelitian Rizkiyani pada tahun 2008 menunjukkan jumlah penderita
baru Tb Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan
12,4 % terjadi pada usia lanjut (≤ 55
tahun).
2)
Jenis Kelamin
Penyakit Tb Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,
lakilaki dan perempuan.Tb paru menyerang sebagian besar laki-laki usia
produktif.
3)
Stasus gizi
Status nutrisi merupakan salah satu faktor yang menetukan
fungsi seluruh sistem tubuh termasuk sistem imun.Sistem kekebalan dibutuhkan
manusia untuk memproteksi tubuh terutama mencegah terjadinya infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Bila daya tahan tubuh sedang rendah, kuman Tb
paru akan mudah masuk ke dalam tubuh. Kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian
berkembang biak. Tetapi, orang yang terinfeksi kuman TB Paru belum tentu
menderita Tb paru. Hal ini bergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Apabila, daya tahan tubuh kuat maka kuman akan terus tertidur di dalam tubuh
(dormant) dan tidak berkembang menjadi penyakt namun apabila daya tahan tubuh
lemah makan kuman Tb akan berkembang menjadi penyakit. Penyakit Tb paru Lebih dominan
terjadi pada masyarakat yang status gizi rendah karena sistem imun yang lemah
sehingga memudahkan kuman Tb Masuk dan berkembang biak.
B. Tempat
1)
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan
yang ditularkan melalui udara. Keadaan berbagai lingkungan yang dapat mempengaruhi
penyebaran Tb paru salah satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor. Penderita
Tb Paru lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang
kumuh dan kotor.
2)
Kondisi sosial ekonomi
Sebagai penderita Tb paru adalah dari kalangan miskin.
Data WHO pada tahun 2011 yang menyatakan bahwa angka kematian akibat Tb paru
sebagaian besar berada di negara yang relatif miskin.
C. Waktu
Penyakit Tb paru dapat menyerang siapa saja, dimana saja,
dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh pada
saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjadinya Tb paru.
5.
DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan melalui
pemeriksaan gejala klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada
program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS) (Depkes, 2007).
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena,
misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan
diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat
(presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis
bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat
diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks,
dan lain-lain.
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka
beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin.
A. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
1. S (Sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberculosis
datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua
2. P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari
kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
3. S (sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi hari.
Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua yaitu
pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya
dilakukan dengan Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana pewarnaannya
dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk penapisan).
·
3 kali positif atau dua kali positif, 1 kali negative
(BTA +)
·
1 kali positif, 2 kali negatif (Ulangi BTA 3 kali)
·
Bila 1 kali positif, dua kali negatif (BTA +)
·
Bila 3 kali negatif (BTA -)
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks
tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit.
B. Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama
ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan
foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu
dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut :
1)
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
2)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif
setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non
fluoroquinolon).
3)
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi
sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau
aspergiloma).
C. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang
paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam
menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita
anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif
100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun
51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji
tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian
atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:
1)
Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux
negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosis.
2)
Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux
meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3)
Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji
mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
Tanda-tanda yang di temukan pada pemeriksaan fisik
tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan
fisis dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks
paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus
meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti
: deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas
amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.
D. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam lemak
yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain
teknik ini adalah dengan memakai Mycobacteria Growth
Indicator Tube (MGIT).
E. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator
yang spesifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam kedua
dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan
daya tahan tubuh pende rita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED
yang normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC.
F. Pemeriksaan
radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan
lain atas indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus
dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi.
Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila :
· Curiga adanya komplikasi (misal : efusi
pleura, pneumotoraks)
· Hemoptisis berulang atau berat
· Didapatkan hanya 1 spesimen BTA + Pemeriksaan
foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif :
·
Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan
posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.
·
Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi
bayangan opak berawan atau nodular.
·
Bayangan bercak milier.
·
Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicrigai Tb paru inaktif :
· Fibrotik, terutama pada segmen apical dan
atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.
·
Kalsifikasi.
·
Penebalan pleura.
6.
GEJALA
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara
klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik.
A. Gejala sistemik/umum
1)
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
2)
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
3)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung
lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan
demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
4)
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat
disertai dengan darah)
5)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung
lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
6)
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
7)
Perasaan tidak enak (malaise) dan lemah
B. Gejala khusus
1)
Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai
sesak.
2)
Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus
paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
3)
Tergantung dari organ tubuh mana yang
terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke
paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
4)
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus
paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
5)
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi
gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
6)
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan
pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak),
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
7)
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan
gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC
dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa
memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang
tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan
30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
7.
PATOGENESIS
Sumber penularan Tb Paru adalah penderita Tb BTA+, Pada
waktu batuk/bersin,penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dropler (percikan
dahak).
A. Infeksi Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Infeksi primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami
salah satu nasib sebagai berikut :
1.
Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama
sekali (restitution adintegrum)
2.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas
(antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
Penyebarannya dengan cara sebagai berikut :
1)
Perkontinuitatum menyebar kesekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
2)
Penyebaran secara bronkogen, baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
3)
Penyebaran secara hematogen dan limfogen.
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan,
akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti itu berkulosismilier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberculosis
pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
·
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ).
·
Meninggal. Semua kejadian diatas adalah
perjalanan tuberkulosis primer.
B. Infeksi Post Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun
kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
1.
Diresopsi kembali dan sembuh tanpa
meninggalkan cacatSarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses
penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat
menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
2.
Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan
keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi :
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang
pneumoni baru. Sarang pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
di atas.
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi),
dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c) Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).
8.
PENATALAKSANAAN PENGOBATAN
TB PARU
A. Efek samping obat
Sebagian besar pasien Tb paru dapat menyelesaikan
pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat yaitu :
1.
Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien Tb parudapat menyelesaikan
pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.
2.
Rifamisin
1)
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan
hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah:
a.
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri
tulang
b.
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak
nafsu makan, muntah kadang-kadang diare
2)
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi
ialah :
a.
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila
terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman
Tb paru pada keadaan khusus.
b.
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan
gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang.
c.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak
napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,
air mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka
mengerti dan tidak perlu khawatir.
3.
Pirinizamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman Tb paru pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga
dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit
yang lain.
4.
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila
dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah
obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko
kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5.
Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam
yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut
dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi
ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus sawar plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran
janin.
B.
Faktor yang mempengaruhi
terjadinya TB-MDR
Kegagalan pada
pengobatan poliresisten TB atau TBMDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang
resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien
tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat.
TB resistensi
obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai
akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya
penularan dari pasien TB-MDR ke orang lain / masyarakat. Faktor penyebab
resitensi OAT terha terhadap kuman M. tuberculosis antara lain :
1.
Faktor
Mikrobiologik
a)
Resisten
yang natural
b)
Resisten
yang didapat
c)
Ampli
fier effect
d)
Virulensi
kuman
e)
Tertular
galur kuman –MDR
2.
Faktor
Klinik
a)
Penyelenggara
kesehatan
·
Keterlambatan
diagnosis
·
Pengobatan
tidak mengikuti guideline
·
Penggunaan
paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau
karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT
yang digunakan missal rifampisin atau INH
·
Tidak
ada guideline
·
Tidak
ada / kurangnya pelatihan TB
·
Tidak
ada pemantauan pengobatan
·
Fenomena
addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah
gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada
paduan yang pertama maka “penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah
panjang daftar obat yang resisten.
·
Organisasi
program nasional TB yang kurang baik
b)
Obat
·
Pengobatan
TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien
·
Obat
toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal
·
Obat
tidak dapat diserap dengan baik missal rifampisin diminum setelah makan, atau
ada diare
·
Kualitas
obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
·
Regimen
/ dosis obat yang tidak tepat
·
Harga
obat yang tidak terjangkau
·
Pengadaan
obat terputus
c)
Pasien
·
PMO
idak ada / kurang baik
·
Kurangnya
informasi atau penyuluhan
·
Kurang
dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
·
Efek
samping obat
·
Sarana
dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
·
Masalah
sosial
·
Gangguan
penyerapan obat
3.
Faktor
Program
·
Tidak
ada fasiliti untuk biakan dan uji kepekaan
·
Ampli
fier effect
·
Tidak
ada program DOTS-PLUS
·
Program
DOTS belum berjalan dengan baik
·
Memerlukan
biaya yang besar
4.
Faktor
AIDS–HIV
·
Kemungkinan
terjadi TB-MDR lebih besar
·
Gangguan
penyerapan
·
Kemungkinan
terjadi efek samping lebih besar
5.
Faktor
Kuman
Kuman M.
tuberculosis super strains
• Sangat virulen
• Daya tahan
hidup lebih tinggi
• Berhubungan
dengan TB-MDR